Senin, 27 September 2010

PROBLEM FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN: KELAHIRAN FILSAFAT MODERN

PROBLEM FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN: KELAHIRAN FILSAFAT MODERN

PROBLEM FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN:
KELAHIRAN FILSAFAT MODERN


Filsafat dan ilmu pengetahuan adalah hamba teologi
Thomas Aquinas

Keywords: teosentris, metafisis, dogmatis, patristik, skolastik, renaissans, antroposentris, rasionalis, empirisme

Boleh jadi, kata-kata Thomas Aquinas, salah seorang tokoh filsafat abad pertengahan masa skolastik, di atas adalah gambaran seutuhnya peta pemikiran filsafat pada abad pertengahan. Abad pertengahan seringkali dituduh sebagai masa suram (abad gelap) dunia filsafat, dengan dalih kuatnya dominasi dan otoritas agama dalam pemikiran filsafat masa itu. Filsafat dianggap seolah-olah tidak lebih sebagai instrumen dalam upaya menjustifikasi teologi agama.
Wilayah kekuasan Romawi baik di timur maupun barat, dikuasai hampir seluruhnya oleh ’dinasti’ Kristen (Katolik). Kolaborasi antara penguasa dengan gereja menjadi satu kekuatan superpower dalam struktur masyarakat. Dalam dunia Kristen inilah filsafat abad pertengahan bertumbuh kembang, dan ini yang meniscayakan adanya corak filsafat yang berasas teologis.
Di dunia lainnya seperti di India, Tiongkok, dan Arab (Islam), pun memiliki keserupaan corak dan model filsafat yang sama dengan yang di dunia Kristen. Filsafat India berkembang dan menjadi satu dengan agama sehingga pemikiran filsafatnya bersifat religius dan tujuan akhirnya mencari keselamatan akhirat. Filsafat India terbagi menjadi tiga masa: Zaman Weda pemikiran filsafat berupa mantera-mantera dan pujian keagamaan, Zaman Wira Carita pemikiran filsafat berupa tulisan-tlisan tentang kepahlawanan dan tentang hubungan manusia dengan dewa. Zaman Sastra Sutra diisi oleh semakin banyaknya bahan-bahan pemikiran filsafat (sutra), dengan ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh seperti Sankara, Ramanuja, Madhwa, dan lainnya. Zaman Kemunduran diisi oleh pemikiran filsafat yang mandul, karena para ahli pikir hanya menirukan pemikiran filsafat yang lampau saja. Zaman Pembaharuan diisi oleh kebangkitan pemikiran filsafat India,yang dipelopori oleh Ram Mohan Ray, seorang pembaharu yang mendapatkan pendidikan di Barat.
Filsafat Tiongkok dapat dikatakan hidup dalam kebudayaan Tiongkok. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat selalu diberikan dalam setiap jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Menurut rakyat Tiongkok fungsi filsafat dalam kehidupan manusia adalah untuk mempertinggi tingkat rohani. Di Tiongkok ada dua aliran yang mendominasi pemikiran rakyat yaitu Confusianisme dan Taoisme.
Di dunia Arab (Islam), filsafat yang berkembang adalah upaya sintesa agama dengan pemikiran filsafat platonian dan aristotelian sekaligus. Filsafat Islam dibagi dalam beberapa periode (a). Periode Mu’tazilah yaitu periode yang mendahulukan pemakaian akal pikiran kemudian diselaraskan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut mereka , Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak mungkin bertentangan dengan akal pikiran.(b). Periode Filsafat Pertama upaya pendahuluannya adalah diadakan pengumpulan naskah-naskah filsafat Yunani, kemudian diterjemahkan. (c). Periode kalam Asy’ari adalah periode memperkokoh akidah Islam.(d) Periode filsafat kedua merupakan prestasi besar dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa, yang belakangan dianggap sebagai masa-masa peranan Islam terhadap Eropa dalam memberikan spirit kebebasan berpikir.
Filsafat abad pertengahan di Barat (dunia Kristen), antara abad 1 s.d awal abad 16 M, seringkali dibagi dalam dua masa, yakni masa patristik dan masa skolastik, yang berpusat di Athena, Alexandria dan Byzantium. Kedua masa itu corak filsafatnya tetap dicirikan oleh kuatnya kredo iman (dogma agama) yang lebih bernuansa metafisis ketimbang rasionalitas/nalariah. Bangunan epistemologinya bersumber dari filsafat platonian dan stoisisme, Santo Anselmus sampai-sampai membuat adagium credo ut intelligam (aku percaya agar aku mengerti) yang seolah menegaskan corak pemikiran filsafat saat itu. Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang mendahulukan pemahaman terlebih dulu daripada iman.
Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas. Ia mendapat gelar "The Angelic Doctor", karena banyak pikirannya, terutama dalam "Summa Theologia" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi kepada Tuhan.
Belakangan, menghadapi abad XII, Eropa membuka kembali kebebasan berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus. Ia menginginkan kebebasan berpikir dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus credo ut intelligam dan merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Peter Abelardus memberikan status yang lebih tinggi kepada penalaran dari pada iman.
Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Occam. Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William Occam merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan.
Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama. Filsafat pada masa itu mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana filsafat dan mana teologi gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara itu otoritas ilmu pengetahuan semakin kuat.
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Filosof masa renaissance antara lain Francis Bacon. Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu.
Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes yang sering dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Semboyan lantangnya yang berbunyi “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada) sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.
Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes dan John Locke. Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna. Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.
Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari
kungkungan gereja, sehingga Voltaire menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains. Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, seperti David Hume. Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.
Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant. Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.
Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel. Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama.
Sementara itu, Jeremy Benthem di Inggris mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill dan Henry Sidgwick. Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.
Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach. Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.
Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi oleh gereja.[]

Diajukan untuk presentasi dalam Kuliah Filsafat Modern, AF/UY/UIN Suka/13092007
Oleh Basyarat Asgor Ali, 05510012

Pustaka;
Asmoro Asmadi, Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, tt.
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, 2004
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, 1998
Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern, Dari Descartes sampai Wittgenstein, PT Pantja Simpati, 1986
Yuli A. Hambali et. al, Pemulihan Peran Subjek, http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/hmnk/article/ view/1553/1517.

http://my.opera.com/basyarat/blog/2010/01/10/problem-filsafat-abad-pertengahan-kelahiran-filsafat-modern

Logika Sebagai Metode

di dalam Filsafat Abad Pertengahan

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para pemikir Yunani Kuno memahami realitas. Mereka menggunakan metode yang unik, yang nantinya akan terus mempengaruhi cara berpikir kita sampai sekarang ini, yakni pencarian archē dan elenchus. Pada bab ini saya akan mengajak anda mencicipi cara para filsuf abad pertengahan memahami realitas. Pada bab ini saya mengacu pada Routledge Encyclopedia of Philosophy dan tulisan Ashworth mengenai bahasa dan logika di dalam filsafat abad pertengahan.

Di dalam filsafat abad pertengahan, kita melihat berkembangnya suatu cara berpikir yang nantinya akan mempengaruhi perkembangan pengetahuan manusia secara signifikan, yakni metode berpikir deduktif. Secara literal metode deduktif, atau yang banyak juga dikenal sebagai prinsip deduktif (deductive principle), adalah kemampuan orang untuk mengembangkan pengetahuannya dengan menarik kesimpulan dari pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya telah ia ketahui.[1]

Misalnya A mengetahui bahwa B, dan C adalah kesimpulan yang bisa ditarik secara deduktif dari B. Maka A mengetahui C. Cara berpikir ini disebut juga prinsip tertutup (closure principle). Artinya kesimpulan yang bisa ditarik tertutup hanya pada implikasi logis, dan bukan yang lainnya. Contoh lainnya S mengenali P, dan S mengetahui bahwa Q adalah implikasi logis dari P. Maka S dapat mengenali Q.

Prinsip ini dapat memastikan, bahwa pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang sahih (valid knowledge). Prinsip semacam ini sangat berperan di dalam pembentukan pengetahuan melalui metode penelitian saintifik (scientific method). Cara berpikir deduktif ini mempengaruhi cara berpikir para filsuf abad pertengahan tentang konsep bahasa dan logika. Dua konsep inilah yang akan menjadi fokus pembahasan di dalam bab ini.

Logika dan Bahasa di dalam Filsafat Abad Pertengahan

Secara umum Filsafat Abad Pertengahan memiliki pemahaman yang menarik tentang konsep bahasa dan logika. Berdasarkan penelitian Ashworth pada masa itu, bahasa dan logika dianggap memiliki tujuan yang jelas.[2] Keduanya berfungsi untuk membentuk dan menyatakan kebenaran, sehingga orang bisa bergerak maju dalam membentuk pengetahuan baru. Kedua konsep ini menimbulkan perdebatan antara dua filsuf besar pada waktu itu, yakni Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus tidak percaya akan kemampuan manusia untuk sampai pada pengetahuan yang tepat. Yang harus diingat adalah Agustinus adalah seorang ahli retorika. Ia sadar betul akan bahaya penggunaan bahasa untuk menyembunyikan atau justru melenyapkan kebenaran. Dan seperti yang dijelaskan oleh Ashworth, Agustinus pernah menulis bahwa orang harus melepaskan diri dari bahasa sehari-hari, dan kemudian belajar langsung dari sumber kebenaran itu sendiri, yakni Tuhan. Ia adalah kebenaran agung yang sesungguhnya.[3]

Pandangan Aquinas berbeda dari Agustinus. Bagi Aquinas seperti dijelaskan oleh Ashworth, fungsi utama dari bahasa adalah untuk mengetahui kebenaran melalui konsep-konsep yang dapat dirumuskan oleh akal budi manusia. Dalam aktivitas sehari-hari, bahasa juga memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui komunikasi yang berguna antar manusia. Tidak hanya itu menurut Ashworth, masyarakat pun terbentuk di dalam bahasa melalui proses penuturan kebenaran (truth telling). Bahasa adalah perpanjangan tangan dari rasionalitas manusia. Dalam kerangka itu bahasa adalah sistem yang diatur oleh prinsip-prinsip tertentu, dan dapat dilepaskan dari konteks pembentukan bahasa, ataupun maksud dari penuturnya. Bahasa adalah kumpulan informasi yang dikumpulkan dan nantinya dirumuskan, guna membentuk suatu pengetahuan yang sistematis (scientia).

Di dalam filsafat abad pertengahan, menurut Ashworth, bahasa tidak dapat dilepaskan dari logika. Keduanya terkait dengan kebenaran, walaupun dengan cara yang berbeda. Seorang filsuf Islam yang bernama Ibn Sina pernah berpendapat, bahwa fungsi logika adalah untuk mengantarkan manusia dari apa yang diketahui (known) menuju ‘yang tidak diketahui’ (the unknown). Artinya logika mengantar manusia untuk membuka tabir-tabir pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Di dalam proses itu, logika dapat mengantar manusia pada kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran itu tidaklah diciptakan oleh manusia, melainkan sudah tertanam di dalam tata alam semesta yang rasional (permanently and divinely instituted in the reasonable orders of things).[4] Logika abad pertengahan difokuskan untuk membantu manusia melepaskan diri dari kesalahan berpikir (fallacies).

Logika di dalam filsafat abad pertengahan berbeda dengan logika Aristotelian, yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Pada masa abad pertengahan, logika yang berkembang tidak mengacu pada struktur formal silogisme a la Aristoteles untuk bisa sampai pada kebenaran. Logika yang dirumuskan Agustinus, misalnya, lebih banyak mengacu pada pemikiran Neoplatonik, yang melihat bahwa alam semesta bisa dipahami seluruhnya dengan mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai levelnya yang paling tinggi. Dengan jiwanya manusia bisa melihat seluruh realitas sebagai obyek yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible). Jiwa adalah suatu entitas yang melampaui bahasa. Dengan argumen yang kurang lebih sama, Agustinus hendak membuktikan keberadaan Tuhan, yakni sebagai entitas yang melampaui bahasa.

Pada abad pertengahan ini jugalah berkembang suatu konsep yang dikenal juga sebagai dialektika (dialectica). Menurut Ashworth dalam arti umum, dialektika adalah logika (logica). Namun dalam arti sempit, setidaknya ada dua makna berbeda. Yang pertama adalah dialektika sebagai seni berdebat, seperti yang dipraktekkan kaum sofis. Dan yang kedua adalah dialektika sebagai seni untuk menemukan sintesis dari argumen-argumen yang berbeda. Marcus Iulius Cicero berpendapat bahwa dialektika adalah suatu metode berdebat yang baik. Agustinus pun berpendapat serupa.

Ashworth juga menjelaskan beragam arti kata logika (logica). Kata itu berasal dari bahasa Yunani logos, yang berarti kata-kata (word) atau akal budi (reason). Dalam arti ini logika bisa juga disebut sebagai ilmu pengetahuan rasional (rational science). Seorang filsuf abad pertengahan bernama Boethius berpendapat, bahwa filsafat dapat dibagi menjadi tiga, yakni filsafat natural (natural philosophy), filsafat moral (moral philosophy), dan filsafat rasional (rational philosophy). Logika terletak di dalam ranah filsafat rasional. Logika juga dapat dianggap sebagai alat untuk berfilsafat. Di sisi lain para filsuf Romawi berpendapat, bahwa logika dapat dikategorikan sebagai bagian dari seni liberal (liberal art). Logika juga dapat dikategorikan sebagai trivium bersama dengan retorika dan grammar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika sekaligus bagian dari ilmu bahasa (dalam tradisi Romawi) dan filsafat rasional (dalam tradisi Boethius).[5]

Berdasarkan penelitian Ashworth pada abad ke 13 dan 14, logika mulai melulu dipahami sebagai filsafat rasional. Artinya logika haruslah dibedakan dengan filsafat natural, yang sibuk untuk memahami gejala alamiah (natural phenomena). Logika lebih berurusan dengan penarikan kesimpulan (inference) serta metode berpikir, dan bukan soal gejala alamiah. Dalam arti ini logika dapat dikelompokkan bersama dengan retorika dan grammar, yakni sebagai ilmu bahasa. Argumen lain mengatakan bahwa logika tidak dapat disamakan dengan filsafat natural (yang nantinya berkembang menjadi ilmu pengetahuan seperti kita ketahui sekarang ini). Logika tidak berurusan dengan alam, melainkan dengan prinsip-prinsip universal (universal principles) yang mengatur argumen dan cara berpikir. Jadi ranah penelitian logika bukanlah benda empiris, melainkan aktivitas pikiran manusia (human mind).

Logika Penarikan Kesimpulan

Menurut Ashworth penarikan kesimpulan adalah konsep terpenting di dalam logika. Penarikan kesimpulan ini bisa juga disebut sebagai consequentia, atau inference. Hal ini menjadi penting untuk mencegah orang mengambil kesimpulan yang salah (fallacies) juga dengan berdasarkan pada premis yang salah. Di dalam ilmu pengetahuan maupun di dalam filsafat moral, orang dilatih untuk bertindak seturut dengan implikasi logis (logical implications) dari kondisi-kondisi yang ada. Misalnya orang baru bisa mengambil kesimpulan yang tepat, jika salah satu premis yang membentuk kesimpulan itu juga universal, (Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Maka Andi juga berambut hitam). Dan jika orang menepati janji, maka ia harus menepatinya. Itulah tindakan-tindakan yang mengikuti implikasi logis dari tindakan sebelumnya.

Kesimpulan yang ditarik secara logis berarti kesimpulan yang sahih (valid). Kesimpulan sahih dalam arti ini adalah kesimpulan yang ditarik dari premis yang sudah terbukti benar. Maka kesimpulan tersebut tidak mungkin salah, karena premis yang mendasarinya juga sudah terbukti benar. Namun menurut Ashworth ada dua masalah terkait dengan argumen ini. Yang pertama adalah fakta di dalam logika, bahwa apa yang logis belum tentu benar. Apa yang merupakan kesimpulan logis dari premis-premis yang sudah terbukti benar tidak menjamin kebenaran dari penarikan kesimpulan itu, melainkan hanya kesahihan logikanya. Coba kita ambil contoh yang paling sederhana. Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Lalu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Andi berambut hitam. Hal ini memang logis namun apakah pasti benar?

Permasalahan di atas coba diatasi dengan menambahkan satu kalimat, yakni “jika dan hanya jika” (if and if only). Namun menurut Ashworth hal ini pun bermasalah. Konsep “jika dan hanya jika” menandakan suatu kondisi. Artinya suatu teori atau pernyataan baru terbukti benar, jika kondisi-kondisi yang memungkinkanya juga ada. Misalnya saya berkata bahwa hari ini pasti hujan, ‘jika dan hanya jika’ awan berat karena air, dan siap menuang hujan ke daratan. Jika awan tidak berat karena air, maka hujan tidak akan terjadi.

Ini adalah contoh yang sederhana. Permasalahan muncul ketika kita mencoba membahas teori yang lebih rumit. Misalnya pernyataan berikut; ekonomi pasar bebas hanya akan berjalan dengan baik, jika setiap orang bertindak dengan mengacu pada kepentingan diri yang tercerahkan (englighten self-interest). Masalahnya adalah cara berpikir dengan mengacu pada kepentingan diri yang tercerahkan hampir tidak mungkin terwujud secara murni di dalam realitas. Artinya pernyataan di atas sama sekali tidak bisa diterapkan pada realitas.

Cara berpikir dengan menggunakan logika sebagai metode ini juga banyak diterapkan pada teologi, yakni upaya rasional manusia untuk memahami Tuhan. Dalam arti ini logika bukan soal pencarian kebenaran, melainkan suatu teknik berpikir untuk menarik kesimpulan logis berdasarkan premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan. Memang dalam arti ini, seperti yang dikatakan oleh Agustinus, apa yang logis (logic) dan apa yang benar (truth) haruslah dibedakan. “Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan logis, definisi, dan divisi”, demikian tulis Agustinus, “dapat memberikan bantuan besar di dalam proses pemahaman, selama orang tidak membuat kesalahan dengan berpikir bahwa dengan mempelajari itu sama dengan telah mempelajari kebenaran dari hidup yang suci.”[6] Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika adalah alat berpikir, dan bukan tujuan dari filsafat abad pertengahan.


IDEALISME
a. Pengertian Pokok.
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang
sejenis dengan i tu.
b. Perkembangan Idealisme.
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk
ajaran yang murni dari Plato. yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang
ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam
benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di
masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian
dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan.
Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak
memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme. Jerman sedang besar sekali
pengaruhnya di Eropah.
C. Tokoh-tokohnya.
1. Plato (477 -347 Sb.M)
2. B. Spinoza (1632 -1677)
3. Liebniz (1685 -1753)
4. Berkeley (1685 -1753)
5. Immanuel Kant (1724 -1881)
6. J. Fichte (1762 -1814)
7. F. Schelling (1755 -1854)
8. G. Hegel (1770 -1831)

II. MATERIALISME
a. Pengertian Pokok.
Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah satu.
b. Perkembangan Materialisme.
Pada abad pertama masehi faham Materialisme tidak mendapat tanggapan yang serius, bahkan pada abad pertengahan, orang menganggap asing terhadap
faham Materialisme ini. Baru pada jaman Aufklarung (pencerahan), Materialisme mendapat tanggapan dan penganut yang penting di Eropah Barat.
Pada abad ke-19 pertengahan, aliran Materialisme tumbuh subur di Barat.
Faktir yang menyebabkannya adalah bahwa orang merasa dengan faham Materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam. Selain itu, faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalildalil
yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataankenyataan yang jelas dan mudah dimengerti.
Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama dimana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham Materialisme ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan (atheis) yang sudah diyakini mengatur budi
masyarakat. Pada masa ini, kritikpun muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang Materialisme.
Adapun kritik yang dilontarkan adalah sebagai berikut :
1. Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari khaos (kacau balau). Padahal kata Hegel. kacau balau yang mengatur bukan lagi kacau balau namanya.
2. Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. padahal pada hakekatnya hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga.
3. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda
itu sendiri. padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar alam itu
sendiri yaitu Tuhan.
4. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling mendasar sekalipun.
c. Tokoh-tokohnya.
1. Anaximenes ( 585 -528)
2. Anaximandros ( 610 -545 SM)
3. Thales ( 625 -545 SM)
4. Demokritos (kl.460 -545 SM)
5. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
6. Lamettrie (1709 -1715)
7. Feuerbach (1804 -1877)
8. H. Spencer (1820 -1903)
9. Karl Marx (1818 -1883)

III. DUALISME
a. Pengertian Pokok.
Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam
hakekat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi.
Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Plato (427 -347 Sb.H)
2. Aristoteles (384 -322 Sb.H)
3. Descartes (1596 -1650)
4. Fechner (1802 -1887)
5. Arnold Gealinex
6 .Leukippos
7. Anaxagoras
8. Hc. Daugall
9. A. Schopenhauer (1788 -1860)

IV. EMPIRISME
a. Pengertian Pokok
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia.
Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otal dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.
Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Francis Bacon (1210 -1292)
2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3. John Locke ( 1632 -1704)
4. George Berkeley ( 1665 -1753)
5. David Hume ( 1711 -1776)
6. Roger Bacon ( 1214 -1294)

V. RASIONALISME.
a. Pengertian Pokok.
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentanghidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
b. Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)

VI.FENOMENALISME
a. Pengertian Pokok.

Secara harfiah Fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.

Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, "a way of looking at things".
Gejala adalah aktivitas, misalnya gejala gedung putih adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat gedung itu, di tambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari Fenomenalisme adalah tesis dari "intensionalisme" yaitu hal yang disebut konstitusi.

Menurut Intensionalisme (Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transenden, sintesa dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre au monde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan sesuatu hal, sehingga benda dibawa ke mulutnya.

b. Tokoh-tokohnya.
1. Edmund Husserl (1859 -1938)
2. Max Scheler (1874 -1928)
3. Hartman (1882 -1950)
4. Martin Heidegger (1889 -1976)
5. Maurice Merleau-Ponty (1908 -1961)
6. Jean Paul Sartre (1905 -1980)
7. Soren Kierkegaard (1813 -1855)

VII. INTUSIONALISME
a. Pengertian Pokok.
Intusionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berfikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Plotinos (205 -270)
2. Henri Bergson (1859 -1994)




Jean-Paul Sartre adalah satu-satunya filsuf kontemporer yang menempatkan

kebebasan pada titik yang sangat ekstrim. Dia berpendapat bahwa manusia itu

bebas atau sama se

kali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan:

"Manusia bebas. Manusia adalah kebebasan." Dalam sejarah filsafat tidak pernah

ada ungkapan begitu ekstrim tentang kebebasan. Sartre tidak memandang

kebebasan sebagai salah satu ciri manusia, tapi menganggap manusia sebagai

kebebasan

Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman

II - Materialisme dan Idealisme

Masalah fundamental yang besar dari semua filsafat, teristimewa dari filsafat yang akhir-akhir ini, ialah masalah mengenai hubungan antara pikiran dengan keadaan. Sejak zaman purbakala, ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang khayal-khayal impian [2-1] mulai percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas-aktivitas tubuh mereka, tetapi, aktivitas-aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati - sejak waktu itu manusia didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada alasan untuk mereka-reka kematian lain yang tersendiri baginya. Maka itu timbul ide tentang kekekal-abadian, yang pada tingkat. perkembangan waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi sebagai takdir yang terhadapnya tiada berguna mengadakan perlawanan, dan sering sekali, seperti dikalangan orang-orang Yunani, sebagai malapetaka yang sesungguhnya. Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur, tetapi kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan umum yang lazim tentang apa yang harus diperbuat dengan nyawa itu, sekali adanya nyawa itu diakui, sesudah tubuh mati, menuju secara umum kepada paham tentang kekekal-abadian perorangan. Dengan cara yang persis sama, lahirlah dewa-dewa pertama, lewat personifikasi kekuatan-kekuatan alam. Dan dalam perkembangan agama-agama selanjutnya dewa-dewa itu makin lama makin mengambil bentuk-bentuk diluar-keduniawian, sehingga akhirnya lewat proses abstraksi saja hampir bisa mengatakan proses penyulingan, yang terjadi secara wajar dalam proses perkembangan intelek manusia, dari dewa-dewa yang banyak jumlahnya itu, yang banyak sedikitnya terbatas dan saling-membatasi, muncul di dalam pikiran-pikiran manusia ide tentang satu tuhan yang eksklusif dari agama-agama monoteis.

Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam - masalah yang terpenting dari seluruh filsafat - mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar-akarnya di dalam paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan. Tetapi masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan dengan seluruh ketajamannya, dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya, hanya setelah umat manusia di Eropa bangun dari kenyenyakan tidur yang lama dalam Zaman Tengah Nasrani. Masalah kedudukan pikiran dalam hubungan dengan keadaan, suatu masalah yang, sepintas lalu, telah memainkan peranan besar juga dalam skolastisisme Zaman Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam - masalah itu, dalam hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah Tuhan menciptakan dunia ataukah dunia sudah ada sejak dulu dan akan tetap ada di kemudian hari?

Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk - dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani - merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.

Dua pernyataan ini, idealisme,dan materialisme, mula-mula tidak mempunyai arti lain daripada itu; dan disinipun kedua pernyataan itu tidak digunakan dalam arti lain apapun. Kekacauan apa yang timbul bila sesuatu arti lain diberikan kepada kedua pernyataan itu akan kita lihat di bawah ini.

Tetapi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan mempunyai segi lain lagi - bagaimana hubungan pikiran kita tentang dunia di sekitar kita dengan dunia itu sendiri ? Dapatkah pikiran kita mengenal dunia yang sebenarnya? Dapatkah kita menghasilkan pencerminan tepat dari realitas di dalam ide-ide dan pengertian-pengertian kita tentang dunia yang sebenarnya itu? Dalam bahasa filsafat masalah ini dinamakan masalah identitas pikiran dengan keadaan, dan jumlah yang sangat besar dari para ahli filsafat memberikan jawaban yang mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel, misalnya, pengiyaanya sudah jelas dengan sendirinya; sebab apa yang kita kenal di dalam dunia nyata adalah justru isi-pikirannya - yang menjadikan dunia berangsur-angsur suatu realisasi dari ide absolut yang sudah ada di sesuatu tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia dan sebelum dunia. Tetapi adalah jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran dapat mengetahui isi yang sejak semula adalah isi-pikiran. Adalah sama jelasnya bahwa apa yang harus dibuktikan disini sudah dengan sendirinya terkandung di dalam premis-premisnya. Tetapi hal itu sekali-kali tidak merintangi Hegel menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya tentang identitas pikiran dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya, karena tepat bagi pemikirannya, adalah satu-satunya yang tepat, dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti membuktikan keabsahannya dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan filsafatnya dari teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai dengan prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.

Di samping itu masih ada segolongan ahli filsafat lainnya - mereka yang meragukan kemungkinan pengenalan apapun, atau sekurang-kurangnya pengenalan yang selengkap-lengkapnya, tentang dunia. Di dalam golongan ini, diantara para ahli filsafat yang lebih modern, termasuk Hume dan Kant, dan mereka telah memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan filsafat. Apa yang menentukan dalam menyangkal pandangan ini sudah dikatakan oleh Hegel, sejauh ini mungkin dari pendirian idealis. Tambahan-tambahan materialis yang diajukan oleh Feuerbach, adalah lebih bersifat cerdik daripada mendalam. Penyangkalan yang paling kena terhadap pikiran aneh ini seperti terhadap semua pikiran filsafat yang aneh lainnya ialah praktek, yaitu eksperimen dan industri. Jika kita dapat membuktikan ketepatan konsepsi kita tentang suatu proses alam dengan membikinnya sendiri, dengan menciptakannya dari syarat-syaratnya dan malahan membuatnya berguna untuk maksud-maksud kita sendiri, maka berakhirlah sudah “konsepsi” Kant yang tak terpahami itu tentang “benda-dalam-dirinya” Zat-zat kimia yang dihasilkan di dalam tumbuh-tumbuhan dan di dalam tubuh binatang tetap merupakan “benda-dalam-dirinya” itu sampai ilmu kimia organik mulai menghasilkan zat-zat itu satu per satu; sesudah itu “benda-dalam-dirinya” menjadi benda untuk kita, seperti, misalnya, alizarin, zat warna dari tumbuh-tumbuhan Rubiantinetorum, yang kita tidak susah-susah lagi menghasilkannya di dalam akar-akar tumbuh-tumbuhan itu di ladang, tetapi membuatnya jauh lebih murah dan sederhana dari tir batubara. Selama 300 tahun sistim tata surya Copernikus merupakan hipotesa dengan kemungkinan benarnya seratus, seribu atau sepuluh ribu lawan satu, meskipun masih tetap suatu hipotesa. Tetapi ketika Leverrier, dengan bahan-bahan yang diberikan oleh sistim itu, bukan hanya menarik kesimpulan tentang keharusan adanya suatu planet yang tidak diketahui, tetapi juga menghitung kedudukan yang mesti ditempati oleh planet itu di langit, dean ketika Gallilei benar-benar menemukan planet itu, [2-2] maka terbuktilah kebenaran sistim Copernikus itu. Jika, sekalipuni demikian, kaum Kantian Baru sedang mencoba menghidupkan kembali paham Kant di Jerman dan kaum agnostik menghidupkan kembali paham Hume di Inggris (dimana paham itu sesungguhnya belum pernah lenyap), maka, mengingat bahwa secara teori dan praktek bantahan terhadap paham-paham itu sudah lama dicapai, hal ini secara ilmiah merupakan kemunduran dan secara praktis hanya merupakan cara kemalu-maluan dalam menerima materialisme dengan diam-dima, sambil mengingkarinya di depan dunia.

Tetapi selama periode yang Panjang ini, yaitu sejak Descartes sampai Hegel dan sejak Hobbes sampai Feuerbach, para ahli filsafat sekali-kali tidak didorong, seperti yang mereka pikirkan, oleh kekuatan akal murni semata. Sebaliknya, yang betul-betul sangat mendorong mereka maju ialah kemajuan yang perkasa dan semakin cepat dari ilmu-ilmu alam dan industri. Di kalangan kaum materialis hal ini terang-benderang terlihat dipermukaan, tetapi sistim-sistim idealis juga semakin banyak mengisi diri dengan isi materialis dan mencoba secara panteis mendamaikan pertentangan antara pikiran dengan materi. Jadi, akhirnya, mengenai metode dan isi sistim Hegelian hanyalah mewakili materialisme yang dijungkirbalikkan secara idealis.

Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa Starcke dalam karakterisasinya tentang Feuerbach pertama-tama menyelidiki pendirian Feuerbach dalam hubungan dengan masalah fundamental ini, yaitu hubungan pikiran dengan keadaan. Sesudah mengajukan suatu pengantar singkat, dalam mana pendirian-pendirian ahli filsafat yang terdahulu, terutama sejak Kant, dilukiskan dalam bahasa filsafat yang secara tidak semestinya berat, dan dalam mana Hegel, oleh karena terlalu formalistis berpegang teguh pada bagian-bagian tertentu dari karya-karyanya, pendapat jauh lebih sedikit daripada yang patut baginya, menyusul suatu penguraian mendetail tentang jalan perkembangan “metafisika” Feuerbach itu sendiri, sebagaimana jalan ini berturut-turut dicerminkan di dalam tulisan-tulisan filsuf itu yang ada sangkut pautnya disini. Penguraian itu disusun dengan rajin dan terang; hanya, seperti halnya seluruh buku itu, penguraian itu diisi dengan beban fraseologi filsafat yang disana-sini bukannya sama sekali tidak dapat dihindari dan yang pengaruhnya lebih mengganggu semakin kurang pengarangnya berpegang pada cara pengungkapan mazhab yang itu-itu juga, atau bahkan cara pengungkapan Feuerbach sendiri, dan sernakin banyak dia menyisipkan ungkapan-ungkapan aliran-aliran yang sangat berbeda-beda, terutama aliran-aliran yang kini merajalela dan, menamakan dirinya aliran filsafat.

Jalan evolusi Feuerbach ialah jalan evolusi seorang Hegelian - memang, tidak pernah seorang ortodoks Hegelian yang sempurna - menjadi seorang materialis; suatu evolusi yang pada tingkat tertentu mengharuskan adanya pemutusan hubungan seluruhnya dengan sistim idealis dari pendahulunya. Dengan kekuatan yang tak tertahan, Feuerbach akhirnya didorong menginsafi, bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia dari Hegel, “adanya terlebih dulu kategori2 logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain daripada sisa2 khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar-dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasa dengan panca indera, yang kita sendiri termasuk di dalamnya, adalah satu2nya realitas; dan bahwa kesadaran serta pemikiran kita, betapa diatas-panca-inderapun nampaknya, adalah hasil organ tubuh yang materiil, yaitu otak. Materi bukanlah hasil jiwa, tetapi jiwa itu sendiri hanyalah hasil tertinggi dari materi. Ini sudah tentu adalah materialisme semurni-murninya. Tetapi setelah sampai sedemikian jauh, Feuerbach tiba2 berhenti. Dia tidak dapat mengatasi purbasangka filsafat yang lazim, purbasangka bukan terhadap barangnya tetapi terhadap nama materialisme. Dia berkata: “Bagi saya materialisme adalah dasar dari bangunan hakekat dan pengetahuan manusia; tetapi bagi saya materialisme bukanlah seperti bagi ahli fisiologi, seperti bagi sarjana ilmu2 alam dalam arti yang lebih sempit, misalnya, bagi Moleskhott, dan memang suatu keharusan menurut pendirian dan pekerjaan mereka, yaitu bangunan itu sendiri. Ke belakang saya setuju sepenuhnya dengan kaum materialis; tetapi ke depan tidak.”

Disini Feuerbach mencampurbaurkan materialisme yang merupakan pandangan-dunia umum yang bersandar pada pengertian tertentu tentang hubungan antara materi dengan pikiran. dengan bentuk khusus dalam mana pandangan-dunia ini dinyatakan pada tingkat sejarah tertentu, yaitu dalam abad ke-18. Lebih daripada itu, dia mencampurbaurkannya dengan bentuk yang dangkal, yang divulgarkan, dalam mana materialisme abad ke-18 hidup terus hingga hari ini di dalam kepala2 para ahli ilmu2 alam dan fisika, bentuk yang dikhotbahkan oleh Bükhner, Vogt dan Moleskhott pada tahun limapuluhan dalam perjalanan keliling mereka. Tetapi. sebagaimana idealisme mengalami sederet tingkat2 perkembangan, begitu juga materialisme. Dengan setiap penemuan yang membuat zaman, sekalipun di bidang ilmu2 alam, materialisme harus mengubah bentuknya, dan setelah sejarah juga dikenakan perlakuan materialis, maka disinipun terbuka jalan raya perkembangan yang baru.

Materialisme abad yang lampau adalah terutama mekanis, sebab pada waktu itu, di antara semua ilmu2 alam hanya ilmu mekanika, dan memang hanya ilmu mekanika benda2 padat - langit dan bumi - pendek kata, ilmu mekanika gravitasi telah mencapai titik akhir tertentu. Ilmu kimia pada waktu itu baru berada dalam masa kanak2nya, dalam bentuk phlogistis. [2-3] Biologi masih berlampin; organisme2 tumbuh2an dan hewan baru saja diperiksa secara kasar dan dijelaskan sebagai akibat sebab2 mekanik semata. Seperti hewan bagi Descartes, begitu juga manusia bagi kaum materialis abad ke-18 adalah suatu mesin. Penerapan secara eksklusif norma2 mekanika ini pada proses2 yang bersifat kimiawi dan organik - yang di dalamnya hukum2 mekanika memang berlaku tetapi didesak kebelakang oleh hukum2 lain yang lebih tinggi - merupakan keterbatasan khusus yang pertama tapi yang pada waktu itu tak terhindarkan dari materialisme klasik Perancis.

Keterbatasan khusus yang kedua dari materialisme ini terletak dalam ketidakmampuannya memahami alam semesta sebagai suatu proses, sebagai materi yang mengalami perkembangan sejarah yang tak putus2nya. Ini sesuai dengan tingkat ilmu2 alam pada waktu itu, dan dengan cara berfilsafat secara metafisik, yaitu antidialektik, yang bertalian dengan tingkat ilmu2 itu. Alam, sejauh yang sudah diketahui, berada dalam gerak yang kekal-abadi. Tetapi menurut ide2 pada waktu itu, gerak itu berlangsung, juga dengan kekal-abadi, dalam lingkaran dan karenanya tidak pernah berpindah dari tempatnya: gerak itu berulang-ulang menghasilkan hasil yang itu2 juga. Pandangan itu pada waktu itu tidak dapat dielakkan. Teori Kant tentang asal-usul tata surya [2-4] baru saja dikemukakan dan masih dianggap sebagai suatu barang ajaib belaka. Sejarah perkembangan bumi, geologi, masih sama sekali belum diketahui, dan konsepsi bahwa makhluk2 alam yang bernyawa di hari ini adalah hasil guatu rentetan perkembangan yang panjang dari yang sederhana ke yang rumit, pada waktu itu sama sekali tidak dapat dikemukakan secara ilmiah. Oleh sebab itu pendirian yang tidak historis terhadap alam tidak dapat dielakkan. Semakin kuranglah alasan kita untuk mencela para ahli filsafat abad ke-18 tentang hal itu, karena hal yang sama terdapat pada Hegel. Menurut Hegel, alam, sebagai “penjelmaan” semata diri ide, tidak mampu berkembang dalam waktu hanya mampu memperbesar kelipatgandaannya dalam ruang, sehingga alam bersamaan dan berdampingan satusamalain memperlihatkan semua tingkat perkembangan yang terkandung di dalamnya, dan ditakdirkan mengalami pengulangan yang kekal-abadi dari proses-proses yang itu2 juga. Hal yang tak masuk akal ini, yaitu perkembangan dalam ruang, tetapi yang lepas dari waktu - syarat fundamental bagi semua perkembangan - dipaksakan oleh Hegel pada alam justru ketika geologi, embriologi, fisiologi tumbuh2an dan hewan, serta ilmu kimia organik sedang dibangun, dan ketika dimana-mana berdasarkan ilmu2 baru ini sedang tampil ramalan2 gemilang dari teori evolusi yang datang kemudian (misalnya; Goethe dan Lamarck). Tetapi sistim menuntutnya; maka itu metode, demi kepentingan sistim, harus menjadi tidak jujur terhadap dirinya sendiri.

Konsepsi tidak-historis yang sama berkuasa juga di bidang sejarah. Di bidang itu perjuangan melawan sisa2 Zaman Tengah memburemkan pandangan. Zaman Tengah dianggap sebagai interupsi sejarah belaka selama seribu tahun kebiadaban umum. Kemajuan besar yang dibuat dalam Zaman Tengah - peluasan wilayah kebudayaan Eropa, bangsa-bangsa besar yang berdayahidup sedang terbentuk di wilayah itu damping-mendampingi, dan akhirnya kemajuan teknik yang luar biasa pada abad ke-14 dan ke-15 - semua ini tidak dilihat. Jadi tidak dimungkinkan adanya pengertian rasionil tentang saling-hubungan kesejarahan yang besar, dan sejarah paling banyak menjadi suatu kumpulan contoh-contoh dan ilustrasi2 untuk digunakan oleh para ahli filsafat.

Penjaja2 yang melakukan pemvulgaran, yang di Jerman pada tahun limapuluhan berkecimpung dalam materialisme, sama sekali tidak mengatasi keterbatasan guru2 mereka itu. Seluruh kemajuan ilmu2 alam yang sementara itu telah dicapai bagi mereka hanyalah bukti2 baru saja yang dapat digunakan untuk menentang adanya pencipta dunia; dan, memang, mereka sama sekali tidak menjadikan pengembangan teori itu lebih jauh sebagai usaha mereka. Walaupun idealisme sudah tidak bisa berkembang lagi dan mendapat pukulan yang mematikan dari Revolusi 1848, ia mempunyai kepuasan melihat bahwa materialisme untuk waklu itu sudah tenggelam lebih dalam lagi. Tidak dapat disangkal bahwa Feuerbach adalah benar ketika dia menolak memikul tanggungjawab atas materialisme itu; hanya dia semestinya tidak mencampurbaurkan ajaran2 pengkhotbah2 berkelilling itu dengan materialisme pada umumnya.

Tetapi, disini, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, semasa hidup Feuerbachpun, ilmu2 alam masih berada dalam proses pergolakan yang hebat, pergolakan yang baru selama limabelas tahun yang akhir2 ini mencapai kesimpulan relatif yang membawa kejelasan. Bahan2 ilmiah baru telah diperoleh dalam ukuran yang belum pernah terdengar hingga kini, tetapi penetapan saling-hubungan, dan dengan demikian soal membawa ketertiban ke dalam kekacauan penemuan2 yang dengan cepatnya susul-menyusul, baru akhir2 ini menjadi mungkin. Memang benar bahwa Feuerbach semasa hidupnya masih sempat menyaksikan ketiga penemuan yang menentukan - penemuan sel, transformasi energi dan teori evolusi, yang diberi nama menurut Darwin. Tetapi bagaimana seorang ahli filsafat yang kesepian, yang hidup dalam kesunyian desa, dapat secara memuaskan mengikuti perkembangan2 ilmiah guna menghargai menurut sepenuh nilainya penemuan2 yang sarjana2 ilmu2 alam sendiri pada waktu itu masih membantahnya atau tidak tahu bagaimana menggunakannya sebaik-baiknya? Kesalahan tentang ini semata-mata terletak pada syarat2 yang menyedihkan yang terdapat di Jerman, yang mengakibatkan tukang2 tindas-kutu eklektis yang melamun telah menempati mimbar2 filsafat, sedangkan Feuerbach yang menjulang tinggi diatas mereka semua, harus tinggal diudik dan membusuk disuatu desa kecil. Maka itu bukanlah salah Feuerbach bahwa konsepsi historis tentang alam, yang kini sudah mungkin dan yang menyingkirkan segala keberatsebelahan materialisme Perancis, tetap tak tercapai olehnya.

Kedua, Feuerbach memang tepat dalam menyatakan bahwa materialisme alam-ilmiah yang eksklusif adalah sesungguhnya dasar dari bangunan pengetahuan manusia, tetapi bukan bangunan itu sendiri. Karena kita tidak hanya hidup di dalam alam, tetapi juga di dalam masyarakat manusia, dan inipun, tidak kurang daripada alam, mempunyai sejarah perkembangannya dan ilmunya. Oleh sebab itu soalnya ialah membikin ilmu tentang masyarakat, yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang dinamakan ilmu-ilmu sejarah dan filsafat, selaras dengan dasar materialis, dan membangunnya kembali di atas dasar itu. Tetapi tidak ditakdirkan bahwa Feuerbachlah yang melakukan hal yang demikian itu. Meskipun ada “dasar”nya, dia disini tetap terikat oleh belenggul2 idealis yang tradisionil, suatu kenyataan yang dia akui dengan kata2 berikut ini : “Kebelakang saya setuju dengan kaum materialis, tetapi kedepan tidak!” Tetapi disini Feuerbach sendirilah yang tidak maju “kedepan”, ke lapangan sosial, yang tidak dapat melampaui pendiriannya tahun 1840 atau 1844. Dan lagi ini terutama disebabkan oleh pengasingan diri yang memaksa dia, yang, diantara semua filsuf, adalah yang paling cenderung kepada pergaulan, kemasyarakatan, untuk menghasilkan pikiran2 dari kepalanya yang kesepian itu dan bukan sebaliknya, yaitu dari pertemuan2 yang bersahabat dan bermusuhan dengan orang2 lain yang sekaliber dengan dia. Kelak akan kita lihat secara mendetail seberapa banyak dia tetap seorang idealis di dalam bidang itu.

Hanya perlu ditambahkan lagi disini bahwa Starcke mencari idealisme Feuerbach di tempat yang salah. “Feuerbach adalah seorang idealis; dia percaya akan kemajuan umat manusia.” (hlm. 19). “Dasar, bangunan bawah dari keseluruhannya, bagaimanapun tetap idealisme. Realisme bagi kami tidaklah lain daripada suatu perlindungan terhadap penyelewengan2, sementara kami mengikuiti kecenderungan2 ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan kegairahan akan kebenaran dan keadilan merupakan kekuatan2 ideal?” (hlm. VIII).

Pertama, idealisme disini tidak mengandung arti lain daripada pengejaran tujuan2 ideal. Tetapi, ini seharusnya paling2 menyangkut idealisme Kant dan “imperatif kategoris”nya, sebaliknya, Kant sendiri menyebut filsafatnya “idealisme transcendental”; dan sekali-kali bukan karena dia di dalamnya juga mempersoalkan cita2 etika, tetapi karena alasan2 yang lain samasekali, sebagaimana Starcke akan ingat. Takhayul bahwa idealisme filsafat bersendikan kepercayaan akan cita2 etika, yaitu cita2 sosial, timbul diluar filsafat, dikalangan kaum filistin Jerman, yang mengapalkan diluar kepala beberapa bagian kebudayaan filsafat yang mereka perlukan dari syair2 Skhiller. Tidak seorangpun yang lebih keras mengecam “imperatif kategoris” Kant yang impoten, impoten karena dia menuntut hal yang tidak mungkin, dan karenanya tidak pernah menjadi kenyataan - tidak seorangpun yang lebih kejam mencemoohkan kegairahan filistin yang sentimental akan cita2 yang tak dapat direalisasi yang diajukan oleh Skhiller daripada justru Hegel, orang idealis yang sempurna itu. (Lihat misalnya, bukunya Fenomenologi).

Kedua, kita sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa segala sesuatu yang membikin manusia bertindak harus melalui otak mereka - bahkan makan dan minum, yang mulai sebagai akibat dari rasa lapar atau rasa haus hanya disampaikan melalui otak dan berakhir sebagai hasil rasa puas yang juga disampaikan melalui otak. Pengaruh2 dunia luar terhadap manusia menyatakan dirinya di dalam otaknya, dicerminkan di dalamnya sebagai perasaan, pikiran, rangsang, kemauan - pendek kata, sebagai “kecenderungan2 ideal”, dan dalam bentuk ini menjadi “kekuatan2 ideal”. Maka itu, jika seseorang harus dianggap idealis karena dia mengikuti “kecenderungan2 ideal” dan mengakui bahwa “kekuatan2 ideal” mempunyai pengaruh terhadap dia, maka sietiap orang yang agak normal perkembangannya adalah seoreang idealis sejak lahirmya dan jika demikian apakah masih bisa ada seorang materialis?

Ketiga, keyakinan bahwa kemanusiaan, sekurang-kurangnya pada saat sekarang ini, dalam keseluruhannya bergerak menurut arah yang maju tidak mempuniai sangkut paut apapun dengan antagonisme antara materialisme dan idealisme. Kaum materialis Perancis, tidak kurang daripada orang2 deis seperti Voltaire dan Rousseau menganut keyakinan itu dalam derajat yang hampir fanatik, dan kerapkali telah membuat pengorbanan perorangan yang paling besar untuk keyakinan itu. Jika pernah ada orang yang mengabdikan seluruh hidupnya kepada “kegairahan akan kebenaran dan keadilan” - menggunakan kata2 itu dalam arti yang baik - maka orang itu adalah Diderot, misalnya. Oleh sebab itu, jika Starcke menyatakan bahwa semua itu adalah idealisme, maka ini hanya membuktikan bahwa bagi dia kata materialisme, dan seluruh antagonisme antara kedua aliran itu telah hilang segala artinya.

Kenyataannya ialah bahwa Starcke, walaupun barangkali secara tidak sadar, dalam hal ini memberi konsesi yang tidak dapat diampuni kepada prasangka filistin yang tradisionil mengenai perkataan materialisme, yang diakibatkan oleh pemfitnahan kata itu dalam waktu lama oleh pendeta2. Perkataan materialisme oleh si filistin diartikan kerakusan, kemabukan, mata-keranjang, nafsu berahi, kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba dan penipuan bursa - pendeknya, segala kejahatan busuk yang dia sendiri lakukan secara sembunyi2. Perkataan idealisme diartikannya kepercayaan akan kebajikan, filantropi universal dan secara umum suatu “dunia yang lebih baik,” yang dia sendiri banggakan dimuka orang lain, tetapi yang dia sendiri hanya percaya selama dia berada dalam kesusahan atau sedang mengalami kebangkrutan sebagai akibat dari ekses2 “materialis”nya yang biasa. Waktu itulah dia menjanjikan lagu kesayangannya: Manusia itu apa ? - Setengah binatang, setengah malaikat.

Adapun tentang hal2 lainnya, Starcke dengan bersusahpayah membela Feuerbach terhadap serangan2 dan ajaran2 para asisten profesor yang berteriak2, yang kini di Jerman memakai nama ahli filsafat. Bagi orang2 yang berminat akan tembuni dari filsafat klasik Jerman, ini sudah tentu merupakan soal yang penting; bagi Starcke sendiri mungkin nampaknya peritu. Tetapi, kami tak akan menyusahkan pembaca dengan itu.

By:ajo elvaroceae

FILSAFAT ABAD KE-18 ERA AUFKLARUNG

Oleh: ajo

Bab I

Pendahuluan

A.Latar belakang

Sebagaimana lazimnya suatu dialog intelektual, disatu sisi terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak. Didunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani,Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato trus dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant,Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18.

Menurut Kant,Fiksafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.

Tampak adanya perbedaan yang menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani,yaitu kenyataan yang mengenai manusia,dunia dan Allah.dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan sebagainya.1 Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik didalam negara maupun didalam masyarakat.2

John Locke yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan selamah dua abad sebelumnya. Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama.

Menurut Dr.Harun Hadiwijono,dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang hanya menjadi hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi sekarang orang berpendapat,bahwa seluruh umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran filsafat dan juga menjadi tugas filsafat

.1 Dr .Muh. Sabri AR,dalam Seminar Mata Kuliah Filsafat Islam Semester I Th 2008-2009

2 Dr. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet IX: Yogyakarta: Kanisius 1993) .h. 47.

. untuk membebaskan khalayak ramai dari kuasa gereja dan iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu,agar supaya mereka mendapat bagian dari hasil-hasil zaman pencerahaan

B.Rumusan masalah

Merujuh pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

- Pengertian filsafat abad ke-18 (era Aufklarung atau masa pencerahan)

- Masa Pencerahan di tiga negara eropa (Jerman,Inggris dan Prancis)

- Paham-paham yang muncul dimasa pencerahan

Bab.II

Pembahasan

1.Definisi filsafat abad ke-18,era Aufklarung ( masa pencerahan)

Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia. Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya,yaitu rasio.3

Sebagai latar belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti,biologi,filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan . Disisi lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642-1727) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi,yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang

sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi.

3 Prof. Dr. Juhaya S. Praja,Aliran-aliran filsafat dan Etika(Cet II: Jakarta:Prenada Media 2005).h.113.

Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional.4

2. Masa Pencerahan di Tiga Negara Eropa

a.Pencerahan di Jerman

Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikap­nya terhadap agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Memang orang juga berusaha menyerang dasar-dasar iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantinya dengan agama yang berdasarkan perasaan yang bersifat pantheistic, akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa “perang’ terbuka.

Yang menjadi pusat perhatian di Jerman adalah etika. Orang bercita-­cita untuk mengubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan perhatian kepada perasaan. Sejak semula pemikiran filsafat dipengaruhi oleh gerakan rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu mengakibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri sendiri.

Para perintisnya di antaranya adalah Samuel Pufendorff(1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728). Akan tetapi pemim­pin yang sebenarnya di bidang filsafat adalah Christian Wolff (1679- 1754).5

la mengusahakan agar filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, dengan mengusahakan adanya pengertian-pengertian yang jelas dengan bukti-bukti yang kuat. Penting sekali baginya adalah susunan sistim filsafat yang bersifat didaktis, gagasan-gagasan yang jelas dan penguraian yang tegas. Dialah yang menciptakan pengistilahan-pengis­tilahan filsafat dalam bahasa Jerman dan menjadikan bahasa itu menjadi serasi bagi pemikiran ilmiah. Karena pekerjaannya itu filsafat menarik per­hatian umum.

Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan menerapkan pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang kecil memang terdapat penyim­pangan-penyimpangan dari Leibniz.

4 Jerome R. Ravertz,The Philosophy of Science,diterjemahkan oleh Saut Pasaribu.(Cet I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004).h.53.

5 Dr.Harun… … ,Sari Sejarah…,op.cit:h.63.

Hingga munculnya Kant yang filsafatnya merajai universitas-universitas di Jerman.

Orang yang seolah-olah dengan tiba-tiba menyempurnakan Pencerah­an adalah Immanuel Kant (1724-1804). Yang merupakan Filsuf yang pengaruhnya terhadap filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini,baik di Barat maupun di Timur, hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini bagaikan catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya. Ada juga yang berpendapat sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik:

Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur,Jerman.Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern.ia hidup dizaman Scepticism Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis),the external world (dunia eksternal) dan reality of things (realitas segala yang wujud ).6

Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dkk. Tetapi karena terpengaruh oleh David Hume ( 1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kriitsnya , Kant merubah wajah filsafatnya secara radikal.

Dilingkungan masyarakatnya,Kant sering menjadi subjek karikatur secara tidak wajar,semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku sampai-sampai para tetangganya menyetel arloji mereka menurut kedatangan dan kepergiannya setiap hari,namun cerita semacam ini mungkin justru mencerminkan integritas kehidupannya yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri jika kita ingin menilainya secara positif.ketika meninggal,epitaf di batu nisannya hanya bertuliskan“ Sang Filsuf “ sebuah sebutan yang dianggap tepat,dengan mempertimbangkan bahwa periode filsafat yang bermula dengan tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam banyak hal dengan hadirnya Kant.7

Dengan munculnya Kant dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi arah kepada segala pemikiran filsafat la sendiri memang merasa, bahwa is meneruskan Pencerahan.

6 Prof. Dr. Juhaya,…,Aliran-aliran….,….op.cit:h. 115.

7 Stephen Palimous,The Tree of Philosophy, diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq.(Cet I:Yogyakarta:

Pustaka Pelajar 2002).h.85.

Karyanya yang terkenal dengan menampakkan kritisismenya adalah Critique of Pure Reason ?. (kritik atas rasio murni) yang membicarakan tentang reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun.Bukunya yang kedua adalah Critique of Practical Reason atau kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya dan bukunya yang ketiga adalah Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan.

Kant yang juga dikenal sebagai raksasa pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persolan yaitu:

Apa yang dapat kita ketahui ? ,Apa yang boleh kita lakukan?,Sampai dimanakah pengharapan kita? Dan Apakah manusia itu? 8

b.Pencerahan di Inggris

Di Inggris filsafat Pencerahan dikemukakan oleh ahli-ahli pikir yang bermacam-macam keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang seorang lepas daripada yang lain, kecuali tentunya beberapa aliran pokok.

Salah satu gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme, suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke-18, yang menggabungkan diri dengan gagasan Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas ajaran agama alamiah.

Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu. Terhadap segala skeptisisme di bidang agama ia bermaksud sekuat mungkin meneguhkan kebenaran-kebenaran dasar alamiah dari agama.

Dasar pengetahuan di bidang agama adalah beberapa pengertian umum yang pasti bagi semua orang dan secara langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yang mendahului segala pengalaman dalam pemikiran akal. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia, karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama dan kesusilaan.

Inilah asas-asas pertama yang harus dijabarkan oleh akal manusia sehingga

tersusunlah agama alamiah, yang berisi: a) bahwa ada Tokoh yang Tertinggi; b) bahwa

manusia harus berbakti kepada Tokoh yang Tertinggi itu; c) bahwa bagian pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan kesalehan; d) bahwa manusia karena tabiatnya benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap pelanggaran kesusilaan harus disesali; e) bahwa kebaikan dan keadilan Allah

8 Prof .Dr.Juhaya,…,Aliran-aliran….,….op.cit:h. 114.

memberikan pahala dan hukuman kepada manusia di dalam hidup ini dan di akhirat. Menurut Herbert, di dalam segala agama yang positif terdapat kebenaran-kebenaran pokok dari agama alamiah.9

Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pandangan Herbert ini dikembangkan lebih lanjut, baik yang mengenai unsur-unsurnya yang negatif maupun unsur-unsurnya yang positif.

c. Pencerahan di Perancis

Pada abad ke-18 filsafat di Perancis menimba gagasannya dari Inggris. Para pelopor filsafat di Perancis sendiri (Descartes, dll) telah dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang yang menjadi guru mereka adalah Locke dan Newton.

Perbedaan antara filsafat Perancis dan Inggris pada masa tersebut adalah:

Di Inggris para filsuf kurang berusaha untuk menjadikan hasil pemikiran mereka dikenal oleh umum, akan tetapi di Perancis keyakinan baru ini sejak semula diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang lebih luas , yang tidak begitu terpelajar seperti para filsuf. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu memasuki pandaangan umum. Demi­kianlah di Perancis filsafat lebih eras dihubungkan dengan hidup politik, sosial dan kebudayaan pada waktu itu. Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat di Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam. Agama Kristen diserang secara keras sekali dengan memakai senjata yang diberikan oleh Deisme.10

Sama halnya dengan di Inggris demikian juga di Perancis terdapat bermacam-macam aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang menyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk Ensiklopedi, dan ada golongan materialis, yang meneruskan asas mekanisme menjadi materialisme semata-mata.

Diantara tokoh yang menjadi sentral pembicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778),

Pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ ia berkenalan dengan teori-teori Locke dan Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua tokoh ini ialah: a) sampai di mana jangkauan akal manusia, dan b) di mana letak batas-batas akal manusia. Berdasarkan kedua hal itu ia mem­bicarakan soal-soal agama alamiah dan etika. Maksud tujuannya tidak lain ialah mengusahakan agar hidup kemasyarakatan zamannya itu sesuai dengan tuntutan akal.

9 Dr.Harun,…,Sari Sejarah,….,op.cit: h.49.

10 Ibid,h.57.

Mengenai jiwa dikatakan, bahwa kita tidak mempunyai gagasan tentang jiwa (pengaruh Locke).Yang kita amati hanyalah gejala-gejala psikis. Pengetahuan kita tidak sampai kepada adanya suatu substansi jiwa yang berdiri sendiri.

Oleh karena agama dipandang sebagai terbatas kepada beberapa perin­tah kesusilaan, maka ia menentang segala dogma, dan menentang agama.

Di Perancis pada era pencerahan ini juga ada Jean Jacques Rousseau(1712-1778), yang telah memberikan penutupan yang sistematis bagi cita-cita pencerahan di Perancis. Sebenarnya ia menentang Pencerahan, yang menurut dia, menyebarkan kesenian dan ilmu pengetahuan yang umum, tanpa disertai penilaian yang baik, dengan terlalu percaya kepada pembaharuan umat manusia melalui pengetahuan dan keadaban. Sebenar­nya Rousseau adalah seorang filsuf yang bukan menekankan kepada akal, melainkan kepada perasaan dan subjektivitas. Akan tetapi di dalam menghambakan diri kepada perasaan itu akalnya yang tajam dipergunakan.

Terkait kebudayaan menurut Rousseau, kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang tampak di Perancis pada abad ke-18 itu.11

Mengenai agama Rousseau berpendapat, bahwa agama adalah urusan pribad.. Agama tidak boleh mengasingkan orang dari hidup bermasyara­kat. Kesalahan agama Kristen ialah bahwa agama ini mematahkan kesatu­an masyarakat. Akan tetapi agama memang diperlukan oleh masyarakat. Akibat keadaan ini ialah, bahwa masyarakat membebankan kebenaran­-kebenaran keagamaan, yang pengakuannva secara lahir perlu bagi hidup kemasyarakatan, kepada para anggotanya sebagai suatu undang-undang, yaitu tentang adanya Allah serta penyelenggaraannya terhadap dunia, tentang penghukuman di akhirat, dsb. Pengakuan secara lahiriah terhadap agama memang perlu bagi masyarakat, tetapi pengakuan batiniah tidak boleh dituntut oleh negara.

Pandangan Rousseau mengenai pendidikan berhubungan erat dengan ajarannya tentang negara dan masyarakat. Menurut dia, pendidikan ber­tugas untuk membebaskan anak dari pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada anak mengembangkan kebaikannya sen­diri yang alamiah. Segala sesuatu yang dapat merugikan perkembangan anak

yang alamiah harus dijauhkan dari anak. Di dalam pendidikan tidak boleh ada pe­ngertian “kekuasaan” yang memberi perintah dan yang harus ditaati. Anak harus diserahkan kepada dirinya sendiri. Hanya dengan cara demi­kian ada jaminan bagi pembentukan yang diinginkan. Juga pendidikan agama yang secara positif tidak boleh diadakan. Anak harus memilih Sen­diri

11 Ibid.h.59

keyakinan apa yang akan diikutinya. Bagi seorang muslim,paham seperti ini tentu sangat menyesatkan.

Harun Hadiwijono berkesimpulan bahwa Pencerahan di Perancis memberikan senjata rohani kepada revolusi Perancis.

3.Aliran-aliran yang muncul dimasa pencerahan

a.Kritisisme

Aliran ini dimulai di Inggris,kemudian Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa,terutama di Jerman.Di Jerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah,siapah sebenarnya dikatakan sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri? Kant mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya Kant mengikuti rasionalisme,tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya, karena ia mengetahui bahwa dalam empirisme terkandung skeptisme. Untuk itu tetap mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.empirsme.12 ,Aliran Filsafat yang dkenal dengan kritisisme adalah filsafat yang di introdusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.

Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dicoba untuk diselesaikan oleh Kant dengan kritisismenya.13

Adapun ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:

- Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.

- Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau

hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.14

Tujuan filsafat kritis

Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana , orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas

12 Asmoro,Akhmadi,Filsafat Umum.(Cet V: Jakarta:RajaGrafindo Persada 2003).h.115.

13 .Surajiyo, Ilmu Filsafat,(Cet I: Jakarta: Bumi Aksara 2005) H.66-67.

14 Prof. Dr. Juhaya,…,Aliran,….op.cit.h.114.

pada diri subjeknya,lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata empirisme,sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman,tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Dalam hal ini Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurutnya, Syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah :bersifat umum dan mutlak dan yang kedua adalah memberi pengetahuan baru. Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran – kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri.Salah satu tujuan filsaft Kant yang disebut sebagai filsafat kritis,dengan metodenya yang dikenal dengan sebutan metode transendental,dimana pengetahuan mencerminkan struktur kategoris pikiran,ialah memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep-konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual manusia.15

Dan berikut kami paparkan kritik terhadap rasionalisme,empirisme dan kombinasi antara keduanya:

1.Kritik terhadap Rasionalisme

Dalam hal ini ada tiga macam kritik yang dilontarkan Kant yaitu:

  1. Critique of Pure Reason (kritik atas rasio murni)

Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalam

pengenalan , berarti unsur –uunsur yang terlepas dari segalah pengalaman.Sedangkan Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman( seperti Locke yang menganggap rasio sebagai” Lembaran putih “- as a white paper). Menuru Kant ,baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpadun antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.

Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume,empirisme yang bersifat rtadikal dan konsekuen, ia tidak dapat menyetujui skeptisime yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup, sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton memperoleh sukses besar .

15 Jerome,…,Filsafat,…,op.cit:h.107

Kant mengadakan suatu revolusi filsafat.Ia berkata bahwa ia ingin mengusahakan suatu “revolusi kopernikan” yang berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang dijadikan Copernicus dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan dengan berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjeek. Sbagaimna Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikkian juga Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan pada objek.

2. Critique of Practical Reason (kritik atas rasio praktis)

Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan,sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri adalah rasio murni. Akan tetapi,di samping rasio murni terdapat apa yang disebut rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan,atau dengan kata lain,rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategori.16 Kant kemudian bertanya,”Bagaimana ‘keharusan’ itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu ?Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini adaladh,kalau kita harus,maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil,jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan.Kant

beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan,hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiganya yang dimaksud adalah:

Kebebasan kehendak,immoralitas jiwa dan yang ketiga adalah adanya Allah.

3. Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan

sebagai konsekuensi dari”kritik atas rasio murni daan “kritik atas rasio praktis adalah munculnya dua lapangan tersendiri yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud dari kritik of judgment ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan).Filsafat bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau filsafat bisa bersifat subjektif,manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi didalam pengalaman estetis (seni). Pengaalaman estetis itu diseleidiki dalam

16 Ibid h.121

bagian pertama bukunya,yaitu berjudul Kritik der Astheischen Urteiilskraft.Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian ke dua, yaitu Kritik der Theoligischen Unteilskraft.17 Kant terdorong untuk menggagas metode filosofisnya karena alasan yang sama dengan alasan Descrates. Ia bertanya dalam hati mengapa ilmu-ilmu lain maju pesat tetapi metafisika tidak demikian.

bentuk lain dari kritik terhadap rasionalisme adalah sebagai berikut :

  1. Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dilakukan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih jauh terdapat perbedaan pendapat yang nyata di antara kaum rasionalis itu sendir mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato,St. Augustine dan Descratws masing-masing mengembangkan teori-teori rasional sendiri yang masing-masing berbeda.18
  2. Banyak diantara manusia yang berpikiran jauh,merasa bahwa mereka menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang praktis. Kecendrungan terhadap abstraksi dan kecendrungan dalam meragukan serta menyangkal syahnya pengalaman keinderaan telah dikritik habis-habisan. Kritikus yang

terdidik biasanya mengeluh bahwa kaum rasionalis memperlakukan idea atau konsep seakan-akan mereka adalah benda yang obyektif. Menghilangkan nilai dari pengalaman keinderaan,menghilangkan pentingnya benda-benda fisik sebagai tumpuan ,lalu menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang samar-samar,dinilai mereka sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan.

  1. Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti.19

17 Ibid h.122-123

18 Jujun S,Sumantri. Ilmu dalam Perspektif,(Cet XIV:Jakarta:Yayasan Obor Indonesia 1999).h.101.

19 Ibid. h.102.

2.Kritik terhadap Empirisme

  1. Empirisme didasarkan pada pengalaman. Tetapi apakah yang disebut pengalaman?
  2. Sekali waktu dia hanya berarti rangsangan pancaidera. Lain kali dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian.Sebagai sebuah konsep,ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Kritukus kaum empiris menunjukkan bahwa fakta tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan di antara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
  3. Sebuah teori yang sangat menitiberatkan pada persepsi pancaidera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera kita sering menyesatkan di mana hal ini disadari oleh kaum empiris itu

sendiri. Empirisme tidak mempunyai perlengakapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta.

  1. Empirisme tidak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indera yang tak terputus-putus,. 20

3.Kombinasi antara rasionalisme dan empirisme

Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian ini karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu,melakukan pengamatan dan mempergunakan data inderawi, Walau demikian,analisis yang mendalam terhadap metode

20 Ibid h.104.

keilmuan akan menyingkapkan kenyataan,bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional.21

b.Deisme

Deisme adalah suatu aliran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Allah menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab Ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Allah dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya.

Maksud aliran ini adalah menaklukkan wahyu Ilahi beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari segala ajaran Gereja. Yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal.

Tokoh-tokoh yang mewakili aliran ini di antaranya adalah John Toland (1670-1722), yang menulis Christianity not mysterious (1696), dan Matteh Tindal (1656-1733), yang menulis Christianity as Old as Creation (1730).

Di bidang filsafat orang yang meneruskan karya Locke di bidang metafisika adalah George Berkeley (w1753), yang mempunyai pangkal pikiran sama dengan Locke. Namun kesimpulan-kesimpulannya berbeda dengan kesimpulan-kesimpulan Locke, yaitu lebih tajam, bahkan sering bertentangan dengan Locke. Oleh karena itu Berkeley bermuara ke dalam aliran idealisme, yang ia sendiri menyebutnya imaterialisme, sebab ia menyangkal adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran manusia.22

Keyakinannya yang asasi adalah : a) segala realitas di luar manusia tergantung kepada kesadaran; b) tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi; c) tiada perbedaan antara gagasan pengalaman batiniah dan gagasan pengalaman lahiriah, sebab pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati; d) tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang konkrit adalah pribadi-pribadi atau tokoh-tokoh yang berpikir. Pangkal pikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan Menurut dia segala pengetahuan bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan gagasan yang di

21 Ibid h.105

22 Dr.Harun,…,Sari,…,….op.cit.h.49-50

amati. Bagai­mana pengamatan terjadi?

Pengamatan bukan terjadi karena hubungan antara subyek yang mengamati dan obyek yang diamati, melainkan karena hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan pengamatan indera yang lain. Umpamanya: pengamatan jarak atau ukuran luas antara subyek dan obyek yang diamati. Pengamatan ini terjadi karena hubungan antara pengamatan penglihatan dan pengamatan raba. (Penglihatan saya hanya menunjukkan bahwa ada warna meja, peraba saya menunjukkan bentuk, kasar dan halusnya). sebenarnya penglihatan saya tidak mengamati jarak atau ukuran keluasan antara meja itu dengan saya. Penglihatan tidak mencerita­kan berapa jauh jarak antara saya dan barang yang saya amati. Pengalam­an dan kebiasaanlah yang menjadikan saya menduga bahwa ada jarak, ada ukuran keluasan, atau ada ruang di antara saya dan benda yang diamati.23

Lanjut Berkeley,bahwa sifat pengamatan adalah konkrit, artinya: isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-benar dapat diamati. segala sesuatu yang kita amati adalah konkrit.

Pengertian Locke yang mengenai substansi dipandangnya hanya sebagai hipotese yang sewenang-wenang dan berlebih-lebihan, substansi, demikian Berkeley, tidak lebih dari suatu penggabungan yang tetap dari gagasan-gagasan. Seandainya kita meniadakan segala sifat yang ada pada sesuatu, tidak akan ada sesuatu lagi. Sebab sifat-sifat itulah yang memben­tuk isi sesuatu tadi. sesuatu yang kita kenal sebenarnya adalah suatu kelompok sifat-sifat yang dapat diamati. Sebuah meja, umpamanya, terdiri dari bentuknya yang tampak, kerasnya yang dapat diraba, suaranya yang dapat didengar jikalau ditarik dari tempatnya, dan lain-lainnya.

Orang yang mengembangkan filsafat empirisme Locke dan Berkeley secara konsekuen adalah David Hume (1711-1776).

Dalam soal teori pengenalan ia mengajarkan, bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).

Menurut Hume,Pada umumnya manusia mendasarkan pen­dapatnya atau pengetahuannya atas hal-hal yang diterimanya tidak secara langsung, yang melalui idea-idea atau pengertian-

23 Ibid

pengertian. Itulah sebab­nya manusia sering ragu-ragu, kacau dan lain sebagainya.

Menurut Harun Hadiwijono pemikiran Hume ini bersifat analitis, kritis dan skep­tic. la berpangkal kepada keyakinan, bahwa hanya kesan-kesanlah yang pasti, jelas dan tidak dapat diragukan. Dari situ ia sampai kepada keyakin­an, bahwa “aku”yang merupakan substansi rohani termasuk alam khayalan. Dunia hanya terdiri dari kesan­-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun secara obyektif siste­matis, karena tiada hubungan sebab-akibat di antara kesan-kesan itu.

Demikianlah tampak ada garis yang berkesinambungan atau kontinyu, yang dimulai dari Locke, diteruskan oleh Berkeley dan sampai kepada Hume. Pemikiran ketiga orang ini terlebih-lebih diarahkan kepada ajaran tentang pengenalan.

Bab III

Kesimpulan

Di abad ke-18 dimulai suatu zaman baru yang memang telah berakar pada Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di ragukan hanya dirinya yang ragu itu ,keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik ) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Masa ini disebut dengan masa pencerahan atau Aufklarung yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya. Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman akal” dimana manusia merasa bebas,zaman perwalian pemikiran manusia dianggap sudah berakhir,mereka merdeka dari segala kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional.

Di Jerman hadir sosok Immanuel Kant yang dalam filsafat kritiknya ia bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana ,orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihar empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Kritisisme Kant adalah suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme.

Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpaduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.

Di Inggris muncul paham deisme sebagai salah satu gejala Pencerahan yang juga disebut pemberi alas ajaran agama alamiah. Munculnya paham deisme ini sebagai bentuk penggabungan terhadap gagasan Eduard Herbert

Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu.

Daftar pustaka

S.Praja.Juhaya,Aliran-aliran filsafat dan etika.(Cet II;Jakarta:Prenada Media 2005).

Gazalba,Sidi.Sistematika Filsafat.(Cet IV;Jakarta: Bulan Bintang 1992)

R.Ravertz,Jerome.Filsafat Ilmu.diterjemahkan,Saut Pasaribu (Cet I ;Yogykarta:Pustaka

Pelajar 2004)

Beekman,Gerard, Filsafat para filsuf berfilsafat,diterjemahkan oleh R.A.Rivai.(Jakarta :

Erlangga)

Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum.( Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada 2003)

R.Suriasumantri,Jujun S.Ilmu dalam Perspektif.(Cet XIV ;Jakarta:Yayasan Obor

Indonesia 1999)

Kartenagara,Mulyadhi.Panorama Filsafat Ilmu.( Cet II; Bandung:Mizan Pustaka. 2005)

Drajat,Amroeni.Suhrawardi Kritik Filsafat Peripatetik.( Cet I:Yogyakarta:LKIS Pelangi

Aksara 2005)

Surajiyo,Ilmu Filsafat,(Cet I:Jakarta, Bumi Aksara 2005)

Hadiwijono,Harun.Sari Sejarah Filsafat Barat 2(Cet IX ;Yogyakarta: Kanisius 1993)

Palmouist,Stephen,The Tree of Philosophy.diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq.(Cet

I ;Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002)